Jawa Timur kini telah mempunyai Jembatan Suramadu. Jembatan modern yang bisa menjadi ikon serta landmark yang membanggakan. Jembatan Suramadu adalah jembatan yang menghubungkan Surabaya di Jawa dan kota Bangkalan di Madura. Keberadaan jembatan ini akan memperlancar lalu lintas barang dan jasa. Jembatan sepanjang 5,4 kilometer itu akan menjadi pembangkit perubahan bagi Madura. Bagaimana gagasan pembanganan Jembatan Suramadu bermula, kita perlu menengok sejarahnya.
Di tahun 1960-an, Prof. Dr. Sedyatmo (alm) mengusulkan sebuah ide mengenai hubungan langsung antara pulau Sumatera dan Jawa. Sebuah ide dan teroboson 'berani' di zaman itu. Ide itu ternyata mendapat respon. Sebagai tindak lanjut, tahun 1965 dibuatlah uji coba desain (jembatan Sumatera-Jawa (Jembatan Selat Sunda) yang dibuat di Institut Teknologi Bandung (ITB). Gagasan dan konsep-konsep pengembangan jembatan antar pulau selanjutnya disampaikanlah kepada Presiden RI Soeharto awal Juni 1986.
Bulan Februari 1986, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bertemu dengan delegasi dari perusahaan perdagangan Jepang. Kemungkinan kerjasama proyek-proyek di Indonesia pun dibahas. Gayung pun bersambut. Para delegasi Jepang tersebut menyatakan memberi angin positif untuk kerjasama dalam proyek hubungan langsung Jawa-Sumatera-Bali.
Pemerintah Indonesia juga semakin bersemangat melakukan persiapan. Atas dasar konsep-konsep dari Prof. Sedyatmo, Juni 1986, Presiden Soeharto menunjuk Menteri Negara Riset dan Teknologi/ Kepala Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi (BPPT) BJ Habibie. Kajian awal kemungkinan hubungan langsung antarpulau Sumatera-Jawa-Bali pun dilakukan.
Proyek ini diberi nama Tri Nusa Bima Sakti. BPPT diberi tugas melakukan studi terkait dengan kondisi alam, sedangkan Departemen Pekerjaan Umum (DPU) melakukan studi tentang sosio-ekonomi dan implementasi. Di waktu yang sama, delegasi Jepang yang dipimpin Dr. Ibukiyama datang ke Indonesia untuk melakukan kajian awal. (JIF), sebuah forum kerjasama yang dibentuk perusahaan swasta Jepang dan BPPT mengusulkan untuk menyelanggarakan seminar di Jakarta sebagai usaha mempromosikan proyek Trinusa Bima Sakti. Seminar dengan judul "Japan-Indonesia Seminar on Large Scale Bridges and Under Sea Tunnel" dilaksanakan di Jakarta, 21-24 Japan-IndonesiaScience and Technoloy Forum September 1986. Seminar tersebut kemudian dilanjutkan dengan serangkaian studi pendahuluan hingga tahun 1989. Karena studi tersebut mencakup hubungan tiga pulau atau lebih, nama proyek disempurnakan menjadi "Proyek Tr i Nusa Bima S a k t i dan Penyeberangan Utama". Dari kajian-kajian yang dilakukan, yang dianggap layak untuk segera diimplementasikan adalah hubungan langsung Jawa-Madura/ Bali.
Waktu terus bergulir. Departemen Pekerjaan Umum (DPU) dan BPPT, Desember 1986, secara terpisah menyampaikan proposal terkait proyek Tri Nusa Bima Sakti kepada Bappenas dan Sekretariat Kabinet (Setkab). Di saat yang sama, hasil kajian yang dipimpin oleh Dr. Ibukiyama juga dikirimkan ke Bappenas dan Setkab.
Tujuh bulan kemudian, dalam rapat tahunan JIF yang membahas kerjasama teknik, perwakilan dari Jepang menyetujui mengirimkan dua tenaga ahli, yaitu ahli Geologi dan ahli Vulkanologi. Mereka bertugas membantu BPPT melakukan kajian tentang kondisi alam. Sementara untuk studi sosio-ekonomi dan implementasi, DPU dibantu seorang ahli bidang Perencanaan Transportasi dan Rekayasa Jembatan/ Terowongan. Dalam perjalanan waktu, muncul kendala dalam pengadaan tanaga ahli Geologi untuk jangka panjang. Delegasi Jepang (Kementerian Trasportasi) mengusulkan pemikiran di mana survei geologi dilaksanakan setelah didapat hasil kajian tentang prospek perencanaan transportasi dan perencanaan konstruksi jembatan/ terowongan.
Tindak lanjutnya, Juli 1988, Mr. Furuya Nobuaki, ahli transportasi dan rekayasa jembatan/ terowongan dari Badan Otorita Jembatan Honshu-Shikoku mulai berkantor di DPU. Kemudian bulan Oktober 1988, Mr. Kobayashi, ahli dari Perusahaan Umum Pembangunan Jaringan Kereta Api Jepang menginjakkan kaki di BPPT.
Selanjutnya, Desember 1988, dilakukan kesepakatan antara DPU dan BPPT tentang kajian bagi proyek tersebut. DPU bertanggung jawab melaksanakan studi sosio-ekonomi, termasuk di dalamnya estimasi kebutuhan lalulintas, sambil melakukan kemitraan dengan instansi lain. Sedangkan BPPT bertugas melaksanakan studi pengembangan teknik dan kondisi alam. Dari kesepakatan itu, sebuah komite akan dibentuk agar pelaksanaan studistudi tersebut berjalan efektif.
Perjalanan kemudian sampai di 9 Januari 1989, saat dibentuk untuk Proyek Tri Nusa Bima Sakti dan Penyeberangan Utama yang terdiri dari :
Ketua
Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro
Deputi Adm. BPPT
Ketua I
Ir. Ruslan Diwiryo
Deputi Pengembangan Wilayah Bappenas
Ketua II
Ir. Suryatin Sastroamijoyo
Dirjen Bina Marga, DPU
Pra Studi Kelayakan Jembatan Suramadu
Langkah kemudian pun semakin konkret dengan dilaksanakannya Preliminary study on Pra Studi Kelayakan Jembatan Suramadu Surabaya-Madura Bridging Project oleh JIF dan BPPT atas biaya dari pihak Jepang, Maret-Oktober 1990. Hasilnya diperoleh rekomendasi penting, bahwa dengan kondisi Surabaya sebagai pelabuhan terbesar kedua setelah Jakarta, serta industri ekspor sistem padat karya, maka pengembangan pulau Madura menjadi kunci pokok dalam perluasan kota metropolitan Surabaya. Melihat potensi pengembangan yang tinggi, maka pembangunan Jembatan Suramadu menjadi penting. Rekomendasi ini kemudian menjadi titik penguat untuk melakukan studi teknis dan studi pendukung lainnya. Studi ini berlangsung tahun 1990 hingga 1995. BPPT pun menyiapkan biaya dari anggaran Daftar Isian Proyek (DIP).
Akhirnya, 14 Desember 1990 Proyek Pembangunan Jembatan Surabaya-Madura dan Pengembangan Kawasan dikukuhkan sebagai proyek nasional melalui penerbitan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1990 tentang Proyek Pembangunan Jembatan Surabaya-Madura yang sekaligus memutuskan untuk membentuk tim yang terdiri dari:
Menhankam, Menkeu, Men. PU, Menperin
Menhub, Menparpostel, Mentamben,
Menneg.PPN/Ketua Bappenas, Menpera,
1. Tim Pengarah
Ketua Tim Pengarah :
Menteri Negara Riset dan Teknologi/ Kepala PPT
Anggota :
Menneg.KLH, Panglima ABRI, KS TNI AL, Ketua BPN, Ketua BKPM, Koordinator Proyek.
Sekertaris tim pengarah
DeputiKetua Bidang Administrasi BPPT.
2. Tim Pengawas
Ketua Tim Pengawas :
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur
Anggota TimPengawas :
Instansi-instansi terkait yang diangkat/ diberhentikan oleh Ketua TimPengawas.
3. Koordinator Proyek
Koordinator Proyek :MohammadNoer, yang dibantu oleh para pembantunya yang diangkat olehKoordinator Proyek Berdasarkan SK Menneg. Ristek/Ka. BPPT No: 283/M/BPPT/VI/91, telah ditunjuk PT Dhipa Madura Pradana (PT DMP) sebagai Pelaksana Proyek Pembangunan Jembatan Surabaya-Madura dan Pengembangan Wilayah bekerjasama dengan institusi terkait.
Selanjutnya PT DMP membentuk Konsorsium Indonesia yang terdiri dari: PT Jasa Marga, BPIS, PT SIER, dan PT BUKAKA. Selain itu juga dibentuk Konsorsium Jepang yang terdiri dari: Mitshubishi Corp, Itochu, Shimizu, Long Term Credit Bank (LTCB). Rapat pertama tim pengarah yang dilaksanakan Maret 1991, memutuskan pembinaan koordinasi proyek ini dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Agenda selanjutnya dibuat rencana kegiatan oleh pelaksana proyek. Terkait dengan tinggi bebas dan bentang bersih jembatan (clearance) jembatan, dikoordinasikan dengan Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Departemen Perhubungan.
Di rapat kedua, Maret 1992, tim pengarah meminta agar PT DMP segera menyelesaikan Feasibility Study dan Bankable Proposal. Rapat juga memutuskan agar BPPT membantu DPU dan PT DMP dalam melaksanakan studi teknis jembatan yang meliputi survei, engineering design dan pengujian. Dan di rapat ketiga tim pengarah, Maret 1994, DPU menyatakan kesiapannya untuk mendukung proyek ini dengan menyiapkan PSDPU (Prasarana dan Sarana Dukungan Pekerjaan Umum). Pihak PT DMP kemudian diminta segera menyelesaikan Action Program yang baku beserta studi lingkungan untuk pengembangan kawasan dan studi resettlement. Selain itu BUMNIS/ BUMD juga akan diikutsertakan dalam proyek ini sebagai pemegang saham.
Setelah memasuki rapat keempat, April 1995, Konsorsium Jepang diminta segera mengusahakan pendanaan. Sementara PT DMP diminta segera menyelesaikan pembebasan tanah untuk keperluan kawasan. Pelaksanaan proyek di lapangan selanjutnya dibawah tanggungjawab DPU.
Krisis Moneter Yang Menunda
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997 menunda sejumlah proyek besar, salah satunya Jembatan Suramadu
Namun, malang tak dapat ditolak. Semangat berletup untuk segera mewujudkan proyek besar ini harus redup sesaat. Krisis ekonomi yang melanda Asia Tenggara, juga menerpa Indonesia. Kondisi ekonomi pun menjadi carutmarut. Krisis yang tak mampu ditepis membawa efek domino yang berakibat langsung pada rencana pembangunan jembatan Suramadu. Dengan kondisi ini, dalam sidang kabinet 16 September 1997, pemerintah memutuskan untuk menunda pelaksanaan pembangunan beberapa proyek besar termasuk rencana pembangunan jembatan Suramadu. Penundaan tersebut diperkuat dengan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997, tanggal 20 September 1997, tentang Penangguhan/ pengkajian kembali proyek pembangunan BUMN dan swasta yang berkaitan dengan Pembangunan/ BUMN.
Penundaan ini dimaksudkan untuk mengamankan kesinambungan perekonomian dan jalannya pembangunan nasional. Proyek Jembatan Surabaya-Madura termasuk dalam daftar proyek yang ditangguhkan. Namun bukan berarti proyek ini berhenti. Dalam Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 1998 tentang prioritas program infrastruktur, dinyatakan apabila pembangunan Jembatan Surabaya-Madura akan dilanjutkan, maka kegiatan tersebut harus masuk daftar prioritas infrastruktur yang dikoordinasikan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Sebuah perubahan kemudian terjadi. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Juni 1998, menyatakan pelaksanaan proyek pembangunan jembatan Surabaya-Madura tidak lagi melibatkan PT DMP. Untuk itu perlu dilakukan dievaluasi kembali tentang adanya konsorsium baru, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Upaya Provinsi Jawa Timur
Meneruskan Cita-cita Pembangunan
Semangat desentralisasi yang tertuang dalam UU Nomor 22/1999 tentang Otonomi Daerah, tanggal 7 Mei 1999, memberikan kewenangan kepada daerah dalam hal ini Propinsi Jawa Timur untuk berperan dalam Pembangunan Jembatan Surabaya-Madura. Pada bulan Desember 1999 dilakukan rapat koordinasi antara Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Timur, PT. Jasa Marga dan Koordinator Proyek di Surabaya: Kesepakatan yang didapat pada pertemuan tersebut adalah:
Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Timur bermaksud untuk mengambil alih tanggungjawab pelaksanaan proyek Jembatan Suramadu dari Departemen Pekerjaan Umum pada bulan September 2000. PT. Jasa Marga akan bertindak sebagai fasilitator dalam melakukan evaluasi biaya investasi dan penyelenggaraan jalan tol untuk Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Timur.
Untuk itu PT. Jasa Marga akan membantu mengevaluasi aspek investasi dengan skema Special Yen Credit, Soft Loan atau Modifikasi Investasi. Sesuai dengan semangat reformasi masyarakat Madura menginginkan dilaksanakannya redesign terhadap jembatan Suramadu. Engineering Design Jembatan beserta hasil pengujian dan studi pendukung lainnya yang telah ada, akan diminta dari BPPT dan Departemen Pekerjaan Umum untuk memudahkan dalam kegiatan Kaji Ulang Studi Kelayakan (Review Feasibility Study) dan redesign jembatan.
Melalui Surat Gubernur Jatim Nomor:602/1746/201/2001, tanggal 11 Oktober 2001 dan Nomor: 602/2332/201.3/2001, tanggal 26 November 2001, Pemerintah Jawa Timur mengajukan Permohonan Inisiasi Pelaksanaan Pembangunan Jembatan Suramadu dan Pencabutan Keputusan Presiden RI nomor 55 Tahun 1990.
Selain itu, 14 Januari 2002 dilakukan sosialisasi pembangunan jembatan Suramadu oleh Gubernur Jawa Timur, Imam Utomo di depan alim ulama dan tokoh masyarakat Madura di Pamekasan. Rencana melanjutkan kembali pembangunan Jembatan Suramadu ini direspon dan sambutan yang sangat baik dari masyarakat Madura. Mereka juga mengharap kesungguhan pemerintah pusat dalam rencana pembangunan Jembatan Suramadu. Selain itu Bupati / DPRD diharapkan mengantisipasi selesainya pembangunan jembatan ini dengan tata ruang, perencanaan ekonomi, serta rencana induk pembangunan Pulau Madura dengan tepat. Langkah pemerintah provinsi ini dijawab oleh Pemerintah Pusat melalui Surat Menteri Negara Ristek/ Kepala BPPT kepada Presiden RI, No: 07/M/I/2002, tanggal 23 Januari 2002, perihal Inisiasi Pelaksanaan Pembangunan Jembatan Suramadu, yang menyatakan dukungan penuh atas langkah nyata yang diambil oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur.
Melalui surat tersebut juga dinyatakan perlunya diterbitkan Keputusan Presiden baru untuk menyatakan bahwa proyek Jembatan Suramadu adalah termasuk proyek prioritas dan sekaligus mencabut Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1990.
Titian Perjalanan Baru
Kepres 79 / 2003 merupakan titian awal dimulainya kembali pembangunan Jembatan Suramadu
Seiring membaiknya situasi perekonomian, maka keluarlah Keputusan Presiden Nomor 79 tanggal 27 Oktober 2003 tentang pembangunan Jembatan Surabaya-Madura yang menyatakan bahwa pembangunan Jembatan Suramadu dapat dilanjutkannya kembali.
Dalam Keputusan Presiden tersebut juga dinyatakan pembangunan Jembatan Suramadu dilaksanakan sebagai bagian dari pembangunan kawasan industri, perumahan dan sektor lainnya dalam wilayah kedua sisi ujung jembatan. Pelaksanaan pembangunan Jembatan Suramadu juga harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi Jawa Timur dan Rencana Tata Ruang Kawasan (RTRK) Gersik-Bangkalan-Mojokerto-Surabaya-Sidoarjo-Lamongan (Gerbang Kertosusila) serta Pamekasan, Sampang dan Sumenep. Dengan Jembatan Suramadu, yang akan menghubungkan Surabaya dengan Pulau Madura melalui jalan darat, diharapkan ketimpangan sosial dapat segera direduksi. Arus transportasi yang cepat dan efektif akan membuat perkembangan Madura segera melejit, bersaing dengan daerah-daerah lain.
Tata wilayah dan tata guna lahan juga akan terbentuk secara proporsional. Proyek ini kelak diharapkan dapat mengukir sejarah baru dalam perkembangan transportasi di Indonesia karena untuk pertama kalinya dibangun jembatan yang menghubungkan antar dua pulau, sekaligus menjadi jembatan terpanjang di Indonesia.